Xoclate Logo

Eci Handayani

Web Developer & Sunset Chaser

Pulang kampung bersama Mama

30 September 2016
Pulang kampung bersama Mama

Sudah lebih dari 10 tahun gue nggak pernah pulang kampung ke Solo. Beberapa tahun sebelum Papa sakit pernah sih mudik tapi seinget gue udah lama banget, sebelum lulus SMA!

Tahun ini setelah Papa meninggal, gue dan Mama akhirnya pulang kampung berdua aja. Diawali dengan beli tiket online di kereta api yang kemudian baru nyadar kalo nggak bisa bayar via internet banking BCA harus lewat ATM (biaya tambahan Rp7.500/transaksi) atau kartu kredit (biaya tambahan Rp22.000/transaksi) bayar lewat ATM dengan batas waktu dua jam setelah order dibuat. Ingat ya dua jam (kalo gak salah) atau orderannya melayang.

Kelar urusan beli tiket, tiba harinya kita pulang kampung. Sampai di Stasiun Gambir jam 7 kurang tujuan pertama gue adalah mencari tempat cetak Boarding Pass. Karena sekarang naik kereta sudah nggak pakai tiket fisik lagi, tapi berupa Boarding pass yang bisa dicetak 12 jam sampai 10 menit menjelang keberangkatan. Anjungan cetak ini terletak berderet di dekat pintu masuk peron. Caranya tinggal ketikkan kode booking yang ada di email konfirmasi pembelian tiket, atau di-scan juga bisa karena ada QR code di email tersebut. Setelah masukkin kode booking klik “search” lalu akan muncul nama penumpang dan KTP, kalo sudah sesuai pilih “Print” beberapa detik kemudian boarding pass gue dan nyokap sudah siap. Sekarang tinggal duduk-duduk cantik nungguin dipanggil untuk naik kereta.

Keretanya Dwipangga baruuuw! Hasil brosing menyebutkan kereta ini bikinan PT INKA dan baru diluncurkan sebelum musim mudik 2016. Tempat duduknya baru, bersih, tirai jendelanya nggak pake korden lagi tapi pake apa ini namanya ya yang harus ditarik dulu baru didorong ke atas kalo mau membuka tirai. AC-nya dingin banget padahal perjalanan siang hari dan terik di luar sana. Yang kurang sreg cuma pijakan kaki aja, kalo kereta lama bisa diatur dan “dimatikan” di tengah, atas atau bawah, kalo yang ini fleksibel ngikutin berat kaki jadi kurang nyaman kalo pengen di posisi tengah (you know what i mean). Ciri kereta baru dari luar selain bentuk jendelanya, ada LED-nya yang bertuliskan nama kereta dan tujuan.

Setelah 8 jam perjalanan kami tiba di Solo, keluar stasiun langsung disambut tawaran becak dan taxi, dari taxi berargo sampai taxi gelap. Taxi di Solo mobilnya rata-rata 7 seater, masih ada sih beberapa yang sedan. Sebenernya pengen naik becak aja tapi lalu lintasnya terlalu menyeramkan untuk dilalui becak karena saingannya sama bus-bus antar kota, motor dan mobil yang pada ngebut. Setelah sampai rumah dan istirahat makanan pertama yang kita coba adalah Makobar 8 rasa. Ini juga sepupu yang ditugaskan beli dia dapet nomer antrian 40 sementara yang lagi dibikin adalah nomer 18. Laris manis ya martabak ini.
Tampilannya layaknya martabak jaman sekarang yang dibuka ngablak kayak pizza, ada keju, cokelat, cokelat dan cokelat. Gue gak bisa bedain cokelatnya apaan aja sampai menjadi 6 rasa lainnya selain meses dan keju parut. Rasa martabaknya biasa aja meskipun tidak setebel martabak yang biasa gue beli.

Sabtu, 3 September 2016

Sabtu pagi selepas subuh jalan-jalan di sekitar rumah, di atas jembatan kali sebelah kiri terlihat gunung Lawu di sebelah kanan terlihat siluet Merapi dan Merbabu, pemandangan yang sekali-sekalinya gue liat karena besok-besok selalu berawan tiap pagi.

Mampir ke penjual cabuk rambak, makanan khas Solo berupa ketupat diiris tipis-tipis disiram saus kacang dan kelapa parut yang disangrai ditambah karak (kerupuk dari nasi kering) disajikan di atas daun pisang dan dimakan menggunakan tusuk gigi sebagai ganti garpu. Porsinya terlihat kecil tapi bikin kenyang dan gak akan menemukan rambak (kerupuk kulit) di makanan ini. Nasi Liwet juga tidak dilupakan sebagai sarapan pagi ini, Nasi Liwet Solo adalah nasi putih dengan topping ayam suir, telor pindang, areh dan sayur labu siam. Seinget gue jaman dulu kalo sarapan page nasi liwet rasanya enak banget dan gurih, sekarang kok biasa aja ya? apa penjualnya yang emang beda-beda kali.
Hari ini kita mau ke Pasar Klewer, sebelumnya harus telpon pesen taxi dulu karena nggak ada satupun angkutan umum yang lewat di depan rumah; padahal jalan gede. Kalo jaman dulu becak banyak yang lewat sekarang kok jadi suram? Setelah telpon mesen taxi dapet sms yang menyebutkan nomer pintu taxi yang akan menjemput kita, awalnya gue gak ngeh kalo itu nomer pintunya 😀 sampe mesen dua kali karena yang pertama kelewatan.

Sebelum ke Klewer kita makan siang dulu di Timlo Sastro, yang dari hasil quick and sudden googling, cukup banyak yang bilang enak. Timlo Sastro letaknya di belakang Pasar Gedhe cukup rame di jam makan siang kayak gini. Gue pesen Timlo Telor dan Rempelo Ati dan nyokap pesen nasi timlo (nasi campur timlo).
Makanan datang yaitu kuah cokelat muda isi telor dan rempelo ati bertabur bawang goreng, sepi.
Tidak ada taburan seledri atau aksesoris lain hihi. Rasanya menyegarkan dan mengenyangkan. Bolehlah dicoba.

Pasar Klewer setelah kebakaran lokasinya dipindahkan ke alun-alun Utara, di dalam kios-kios gitu tapi entah kenapa barang dagangannya nggak ada yang menarik. Eh iya pedagang di sini (gak semua pasti) ada yang gak suka ditawar loh. Marah-marah dan ngedumel panjang lebar gitu waktu gue nawar rok batik pendek dagangannya dan kayaknya beberapa juga keberatan kalo nanya-nanya harga doang. Hahaha

Keburu bete di Pasar Klewer yang beruban kita lanjut ke PGS (Pusat Grosir Solo) ya semodel kayak ITC gitu lah kalo di Jakarta. Di dalam gedung pake AC, ada beberapa yang harganya sudah dipasang jadi gak ribet musti nanya-nanya.

Wedangan lagi hits kayaknya di Solo, dari yang pake tenda pinggir jalan sampai yang berbentuk cafe. Menu yang disediakanpun beragam, dari makanan ringan sampai Soto Ayam, minuman hangat berbagai jenis sampai minuman dingin dengan harga terjangkau. Wedangan WOW ini buka dari sore sampai malam dan gue lihat selalu ramai walaupun sedang hujan.

Kali ini gue coba wedang jahe kunyit jeruk, wedang cokelat tape plus pisang bakar keju. Tempat ini nggak mengubah bangunan asli rumah tinggal sebelumnya jadi ada indoor dan outdoor, outdoornya pun masih di teras dan ditutupi kanopi jadi gak takut kehujanan.

Pisang bakar kejunya porsinya mini, cuman satu buah pisang dibelah dua, rasa juga biasa aja sih nggak ada yang istimewa sementara wedang yang gue pesen domninan rasa jeruknya -which was good- daripada jahe, jahenya dikeprek dan dicelupin aja di gelas. Untuk Cokelat tapenya itu adalah cokelat bubuk diseduh ditambah tape ketan yang kayaknya kurang fresh jadi kurang enak.

Minggu 4 September 2016

Hari ini tujuan pertama adalah ke Bonoloyo yang paling bikin males kalo jiarah adalah peminta-mintanya banyak banget dan maksa minta duit walaupun sudah dikasih tetep aja ngebuntutin pantang menyerah. Waktu baru dateng sih mereka gak ada paling cuma satu dua yang pura-pura bersihin makam tapi saat kita udah selesai berdoa langsung muncul kayak zombie.
Abis dari makam kita ke Selat Mbak Lies di Serengan. Tempat kuliner ini dekorasinya dipenuhi keramik mulai dari piring pajangan sampai tempat duduk dan mejanya pun dari keramik. Gue pesen selat bestik, sup matahari dan es kopyor sementara nyokap pesen selat galantin kuah segar dan teh anget. Selat adalah makanan khas Solo berupa wortel, buncis, kentang, telur dan daging yang disiram kuah cokelat dan ditambah mayonaise (mayonaisenya enak banget).

Sup Matahari isinya kacang polong, potongan sosis dan daging ayam cincang yang dibentuk seperti bakso besar ditumpuk jamur lalu dibungkus telur dadar tipis. Disajikan panas, cocok untuk makanan pembuka tapi meskipun kali ini supnya gue santap setelah selat tapi masih cukup anget juga loh gak gampang dingin.

Malamnya kita nyobain jajan bakso di warung tenda dekat rumah, namanya Bakso Pak Saino. Semangkok 13000, isinya 5 bakso, bihun dan pangsit goreng. Enak! di meja tersedia kacang, krupuk dan bungkusan-bungkusan kecil nasi.

Senin, 5 September 2016

Acara hari ini adalah jalan-jalan ke Yogyakarta tapi sebelum ke Jogja kita ke Pasar Gede dulu nyobain es dawet yang tersohor. Dawetnya lebih mahal daripada yang kita beli di Pasar Legi kemaren. Kalo di Pasar Legi harganya Rp2.000 seporsi di sini Rp8.000 semangkuk. Rasanya jauh lebih enak, selain dawet ada ketan item dan jenang (bubur).

Abis minum dawet dilajutkan cari oleh-oleh makanan buat dibawa pulang. Disarankan sih beli oleh-oleh di Pasar Gede aja karena harganya lebih murah dan rasa juga gak kalah sama yang di Toko kue paling hits se-Solo itu tu. Kelar belanja oleh-oleh kita makan siang dulu di Soto Gading 1, soto ayam dengan banyak side dish tersaji di meja. Rasa mah biasa aja tapi lumayan buat ganjel perut.

Di Yogyakarta tujuannya cuma Mirota di Malioboro aja sih, tapi agak kecewa karena barang-barang Mirota nggak semurah meriah seperti dulu kala. Huh. Makan siang kita nyobain Raminten di lantai 3 Mirota Malioboro. Dan lagi-lagi kecewa selain menu yang pengen dipesen katanya bakal lama jadilah pilih yang cepet aja yaitu .. jreng-jreng … gado-gado dan nasi gudeg yang rasanya … ya gitudeh. Emang sih menunya banyakan minuman yang kayaknya lucu-lucu tapi perut lagi gak mengijinkan minum yang aneh-aneh. Sepanjang Mailoboro juga drainasenya lagi dibenerin jadi ya sama aja ribetnya kayak di Solo.

Selasa, 6 September 2016

Saatnya kembali ke Jakarta, kembali naik kereta baru meskipun kali ini Argo Lawu. Kami tiba di Jakarta tepat pukul 16:22 WIB. Keren ya Kereta api sekarang tepat waktu semua. Etapi kenapa relief di Stasiun Balapan jadi begini ya padahal dulu ikonik banget.

  • Gambir
  • Jembatan - Surakarta
  • Pisang Keju
  • Menu Mbak Lies
  • Selat Solo
  • Bakso

Updated: January 19, 2021Posted in Travel solo surakarta

Comments are closed.